Alkisah, ada sepasang pendaki gunung terkenal, seorang gadis & ayahnya. Mereka telah banyak menaklukkan gunung-gunung di dunia. Sekarang gadis tersebut telah berumur 20 tahun dan sang ayah 54 tahun. Saat menjelang ulang tahun ke 21 dari anak gadisnya, mereka berencana untuk merayakannya di puncak Mt. Blanc. Sebotol champagne dibawa untuk perayaan di puncak nantinya.
Segalanya berjalan lancar hingga kurang ¼ perjalanan lagi menuju puncak. Cuaca buruk menghadang. Badai besar menyebabkan jarak pandang nyaris nol, memporak-porandakan kemah mereka, melenyapkan radio komunikasi dan beberapa bekal mereka. Bukannya memutuskan untuk kembali, atas rekomendasi sang ayah, sebagai pemimpin, sang anak memutuskan untuk melanjutkan perjalanan karena mereka yakin bisa melakukannya berbekal pengalaman mereka sebelumnya. Dalam perjalanan naik, tiba-tiba, sang ayah terperosok dan jatuh ke dalam celah es yang tertutup salju. Tali yang mengikat kedua tubuh mereka nyaris membuat mereka terperosok ke dalam celah bersama, beruntung celah tidak begitu dalam sehingga sang anak tidak sampai ikut terperosok. Namun tidak demikian bagi sang ayah, kaki kanannya patah. Bukannya turun setelah insiden tersebut, sang ayah memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke puncak dengan kaki patah. Meski terlambat, mereka akhirnya tiba di puncak dan merayakan ulang tahun anak gadisnya sambil minum champagne bersama di ketinggian lebih dari 13.000 kaki. Namun mereka tidak bisa berlama-lama disana. Kondisai sang ayah yang semakin memburuk memaksa mereka harus segera turun.
Perjalanan turun menjadi begitu berat dan sulit karena kondisi sang ayah yang bertambah buruk. Sempat mengalami hipotermia, dan memasuki tengah perjalanan pulang darah mulai menggumpal di paru-paru. Sakit yang luar biasa timbul dalam diri sang ayah. Bukan sekali atau dua kali ia mengalami sesak napas dan sakit yang luar biasa pada dadanya. Penderitaan tak berhenti di sana, kakinya yang patah memperburuk keadaan. Ia tak bisa lagi berjalan atau berbicara meski masih sadar dan bisa mengerti serta mendengar anaknya senantiasa mengatakan, “bertahanlah Yah, semuanya akan baik-baik saja. Kita telah banyak mengalami hal-hal buruk, bahkan yang lebih buruk dari ini, kita pasti bisa melewatinya”.
Kondisi ini memaksa sang anak harus ‘menyeret’ ayahnya dengan kereta luncur dan entah berapa kali mereka nyaris tergelincir bersama. Dua hari lamanya sang ayah harus berteriak, mendesah dan merintih karena kesakitan sebelum akhirnya tewas hanya 20 menit dari pos perhentian terakhir yang berisi balai pengobatan, suplai makanan dan transport ke rumah sakit terdekat.
Sejak saat itu sang anak menjadi pendiam, sering menyendiri dan tertutup. Ia menyalahkan dirinya karena tidak mengambil keputusan untuk turun saat kondisi cuaca berubah menjadi buruk saat pendakian. Ia menyalahkan dirinya karena tak bisa berbuat apa-apa saat ayahnya menahan rasa sakit yang luar biasa selama 2 hari sebelum akhirnya tewas, ya tewas, hanya 20 menit sebelum pos. 20 menit bukan apa-apa jika dibandingkan 2 hari penderitaan. “Aku melihatnya Yah, aku melihatnya, kita telah sampai”. Itulah kata-kata terakhir yang ia ucapkan kepada ayahnya yang telah terbujur kaku tak bisa mendengar untuk selamanya.
Hampir lima tahun semenjak kejadian itu ia tetap belum berubah, tetap pendiam dan tertutup namun optimis. Kini ia menjadi pemandu profesional bagi pendaki gunung lainnya. Ia memimpin banyak ekspedisi berbahaya dan sulit. Kali ini ia diminta memimpin sebuah ekspedisi berbahaya ke kutub utara. Ia diminta menjadi pemandu bagi 4 orang gila yang berencana berjalan kaki melihat matahari terbit di kutub utara pada bulan Juni. Perjalanan akan memakan waktu 60 hari dari Rusia. Dari 4 orang tersebut, 3 diantaranya laki-laki berumur 25-35an tahun dan seorang pria tua berumur 54 tahun. 3 pria muda tersebut bukan masalah, mereka adalah petualang yang telah menyelesaikan berpuluh-puluh ekspedisi berbahaya. Yang menjadi masalah, pria tua itu. Bukan hanya karena umurnya, tapi juga penyakit asma yang dideritanya. Reputasinya memang tidak buruk, sebagai pria kaya raya dari Kanada, ia juga sering melakukan ekspedisi pada masa mudanya, tapi sekarang ia tidak muda lagi, ditambah penyakitnya.
Sebagai pemandu ekspedisi, sang gadis berbicara kepada sang orang tua. “Anda tentu tahu resiko apa yang anda hadapi jika anda tetap memaksa ikut ekspedisi ini. Sebagai pemandu sekaligus pemimpin, saya tidak bisa membiarkan anda ikut bersama kami meskipun anda merupakan penyandang dana dan penggagas ekspedisi ini. Kami berjanji akan terus memberi tahu kabar, posisi dan kondisi kami seperlunya”. Lalu ia menambah sedikit argumennya, “Aku pernah mengambil keputusan yang salah, saat ulang tahunku yang ke-21, aku dan ayahku mendaki Mt. Blanc sambil membawa sebotol champagne untuk merayakan ulang tahun di puncak. Cuaca buruk menghadang kami, kaki ayahku patah saat perjalanan naik, tapi kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya, di puncak, aku minum champagne bersama ayahku untuk pertama kalinya pada ketinggian lebih dari 13.000 kaki. Itu merupakan momen terindah dalam hidupku. Saat perjalanan pulang keadaan begitu buruk, ayah mengalami hipotermia, kemudian darah beku mulai mengisi paru-parunya. Aku menyeretnya turun dengan kereta luncur selama dua hari. Dua hari itu pula ia mengalami kesakitan yang tak terbayangkan olehku. 20 menit sebelum pos terakhir dimana seharusnya ia bisa diselamatkan, ayahku tewas. Aku tidak bisa mengambil resiko seperti itu.”
Namun, pria tua itu justru menjawab dengan tenang:
“Aku telah melewati banyak kesenangan dan kesedihan. Bila aku harus mati dalam ekspedisi ini, tidak ada yang akan menangisi diriku. Aku tidak punya istri dan anak. Sudara-saudarakupun tidak mau tahu dengan keadaanku. Uang tak bisa memuaskanku lagi. Satu- satunya kegembiraan yang bisa kuperoleh ketika aku bisa melakukan ekspedisi ini dan berhasil menyelesaikannya. Aku tidak peduli jika aku menahan rasa sakit atau harus mati sekalipun di tengah perjalanan.
Menurutmu, apa yang dipikirkan ayahmu saat itu? Sakit yang tak tertahankan selama 2 hari atau merayakan ulang tahun sambil minum champagne bersama anaknya di ketinggian lebih dari 13.000 kaki?”
Sang gadis tertunduk sejenak, kemudian memandang orang tua itu lalu tersenyum, senyum pertama setelah lima tahun ia tak pernah ia tersenyum seperti itu. Beberapa saat ia hanya terdiam memandang sang orang tua lalu memeluknya. “Ayo, kita tidak punya banyak waktu”, katanya. Tapi kali ini bukan dengan wajah muram dan hati dinginnya. Ia melangkah dengan semangat, harapan dan jiwa baru.
Ini adalah petualangan ke 107-nya, namun ia melangkahkan kakinya dengan pikiran sama dengan ketika ia pertama kali melakukan pendakian bersama ayahnya saat ia berumur 4 tahun, tanpa beban, karena kini ia tahu bahwa, ia-pun akan mengambil keputusan yang sama jika dalam posisi sang ayah.
Tak ada rasa sakit sedikitpun yang terbesit pada bibirnya ketika ia tewas. Yang ada hanya kebahagiaan, bahagia karena telah melihat hal terindah dalam hidupnya, yaitu melihat putri tunggalnya tumbuh menjadi pribadi luar biasa yang baru saja diajaknya minum bersama di puncak kejayaan, bahagia karena ia tewas ketika melakukan sesuatu yang amat dicintainya dan bahagia karena ia tahu berada di tangan yang tepat masa-masa tersulit serta detik-detik terakhir dalam hidupnya.
No comments:
Post a Comment